APA YANG KITA SOMBONGKAN ??

on Selasa, 07 Februari 2012

Seorang pria yang bertamu ke rumah Sang Guru, dan dia tertegun
keheranan. Dia melihat Sang Guru sedang sibuk bekerja; ia mengangkuti
air dengan ember dan menyikat lantai rumahnya keras-keras. Keringatnya
bercucuran deras. Menyaksikan keganjilan ini orang itu bertanya, “Apa
yang sedang Anda lakukan?”
Sang Guru menjawab, “Tadi saya kedatangan serombongan tamu yang meminta
nasihat. Saya memberikan banyak nasihat yang bermanfaat bagi mereka.
Merekapun tampak puas sekali. Namun, setelah mereka pulang tiba-tiba saya
merasa menjadi orang yang hebat. Kesombongan saya mulai bermunculan. Karena
itu, saya melakukan ini untuk membunuh perasaan sombong saya.”
Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, yang
benih-benihnya terlalu kerap muncul tanpa kita sadari. Di tingkat
terbawah, sombong disebabkan oleh faktor materi. Kita merasa lebih kaya, lebih
rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain.
Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh factor kecerdasan. Kita merasa
lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang
lain.
Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh factor kebaikan. Kita sering
menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus
dibandingkan dengan orang lain.
Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pula
kita mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun
sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi
karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.
Akar dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan. Pada tataran yang
lumrah, ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem)
dan kepercayaan diri (self-confidence). Akan tetapi, begitu kedua hal ini
berubah menjadi kebanggaan (pride), Anda sudah berada sangat dekat
dengan kesombongan. Batas antara bangga dan sombong tidaklah terlalu jelas.
Kita sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan
kesadaran sejati di lain kutub. Pada saat terlahir ke dunia, kita dalam
keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan tetapi, seiring dengan
waktu, kita mulai memupuk berbagai keinginan, lebih dari sekadar yang kita
butuhkan dalam hidup. Keenam indra kita selalu mengatakan bahwa kita
memerlukan lebih banyak lagi.
Perjalanan hidup cenderung menggiring kita menuju kutub ego. Ilusi ego
inilah yang memperkenalkan kita kepada dualisme ketamakan (ekstrem suka)
dan kebencian (ekstrem tidak suka). Inilah akar dari segala permasalahan.
Perjuangan melawan kesombongan merupakan perjuangan menuju kesadaran
sejati. Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya, ada dua
perubahan paradigma yang perlu kita lakukan. Pertama, kita perlu menyadari bahwa
pada hakikatnya kita bukanlah makhluk fisik, tetapi makhluk spiritual.
Kesejatian kita adalah spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah sarana untuk
hidup di dunia. Kita lahir dengan tangan kosong, dan (ingat!) kita pun akan
mati dengan tangan kosong.
Pandangan seperti ini akan membuat kita melihat semua makhluk dalam
kesetaraan universal. Kita tidak akan lagi terkelabui oleh penampilan,
label, dan segala “tampak luar” lainnya. Yang kini kita lihat adalah
“tampak dalam”. Pandangan seperti ini akan membantu menjauhkan kita dari
berbagai kesombongan atau ilusi ego.
Kedua, kita perlu menyadari bahwa apa pun perbuatan baik yang kita
lakukan, semuanya itu semata-mata adalah juga demi diri kita sendiri. Kita
memberikan sesuatu kepada orang lain adalah juga demi kita sendiri.
yaitu agar masuk surga dan terhindar dari neraka.
Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi.
Energi yang kita berikan kepada dunia tak akan pernah musnah. Energi itu
akan kembali kepada kita dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang kita
lakukan pasti akan kembali kepada kita dalam bentuk persahabatan, cinta
kasih, makna hidup, maupun kepuasan batin yang mendalam. Jadi, setiap
berbuat baik kepada pihak lain, kita sebenarnya sedang berbuat baik
kepada diri kita sendiri.
Kalau begitu, apa yang kita sombongkan?


10 HAL YANG TIDAK BERMANFAAT

on Senin, 06 Februari 2012

10 Hal yang Tidak Bermanfaat dan Sia-sia


PENULIS: USTADZ MUHAMMAD ABDUH TUASIKAL

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.
Ibnu Qoyyim Al Jauziyah mengatakan bahwa ada sepuluh hal yang tidak bermanfaat.
Pertama: memiliki ilmu namun tidak diamalkan.
Kedua: beramal namun tidak ikhlash dan tidak mengikuti tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketiga: memiliki harta namun enggan untuk menginfakkan. Harta tersebut tidak digunakan untuk hal yang bermanfaat di dunia dan juga tidak diutamakan untuk kepentingan akhirat.
Keempat: hati yang kosong dari cinta dan rindu pada Allah.
Kelima: badan yang lalai dari taat dan mengabdi pada Allah.
Keenam: cinta yang di dalamnya tidak ada ridho dari yang dicintai dan cinta yang tidak mau patuh pada perintah-Nya.
Ketujuh: waktu yang tidak diisi dengan kebaikan dan pendekatan diri pada Allah.
Kedelapan: pikiran yang selalu berputar pada hal yang tidak bermanfaat.
Kesembilan: pekerjaan yang tidak membuatmu semakin mengabdi pada Allah dan juga tidak memperbaiki urusan duniamu.
Kesepuluh: rasa takut dan rasa harap pada makhluk yang dia sendiri berada pada genggaman Allah. Makhluk tersebut tidak dapat melepaskan bahaya dan mendatangkan manfaat pada dirinya, juga tidak dapat menghidupkan dan mematikan serta tidak dapat menghidupkan yang sudah mati.
Itulah sepuluh hal yang melalaikan dan sia-sia. Di antara sepuluh hal tersebut yang paling berbahaya dan merupakan asal muasal segala macam kelalaian adalah dua hal yaitu: hati yang selalu lalai dan waktu yang tersia-siakan.
Hati yang lalai akan membuat seseorang mengutamakan dunia daripada akhirat, sehingga dia cenderung mengikuti hawa nafsu. Sedangkan menyia-nyiakan waktu akan membuat seseorang panjang angan-angan.
Padahal segala macam kerusakan terkumpul karena mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Sedangkan segala macam kebaikan ada karena mengikuti al huda (petunjuk) dan selalu menyiapkan diri untuk berjumpa dengan Rabb semesta alam.
Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Rujukan: Al Fawa’id, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, hal. 108,  Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1425 H.